INTELEGENSI



A.    Pengertian Intelegensi
Intelegensi bukanlah sesuatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fisik ilmiah untuk mendeskripsikan perilku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Dalam mengartikan intelegensi (kecerdasan), para ahli mempunyai pengertian yang beragam.
Istilah intelegensi, semula berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Intelegensi menurut Jean Piaget diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan-perdoalan. Jean Piaget mengatakan bahwa intelegensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru.[1]
Masyarakat umum mengenal intelegensi sebgai istilah yang mnggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Gambaran tentang anak yang berintelegensi tinggi adalah gambaran mengenai siswa yang pintar, siswa yang selalu naik kelas dengan nilai baik, atau siswa yang jempolan di kelasnya. Bahkan gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu citras anak yang wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya bersinar, atau berkaca mata. Sebaliknya gambaran anak yang berintelegensi rendah membawa citra manusia yang lamban berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya rendah, dan mulut lebih banyak menganga disertai tatpan mata biru,.[2]
Pandangan lama menunjukkan bahwa kualitas intelejensi atau kecerdasan yang tinggi dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Namun baru-baru ini, telah berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan individu dalam hidupnya bukan semata-mata ditentukan oleh tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor kemantapan emosional yang oleh ahlinya, yaitu Daniel Goleman disebut Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional).[3]
Dari gambaran di atas, kecerdasan sangat diperlukan karena akan membentuk performa tiap individu, walaupun tidak selamanya seperti itu Semakin cerdas seseorang maka semakin besar peluang untuk lebih sukses di bandingkan orang yang tidak cerdas, karena Kecerdasan merupakan kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah.untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang perlu diadakan tes kecerdasan.
Selama ini tes kecerdasan umumnya hanya di berikan kepada orang-orang yang menempuh bangku pendidikan sehingga tampak bahwa tingkat kecerdasan orang yang berpendidikan di anggap lebih baik di bandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan ,namun kenyataan di lapangan tidak semua orang yang tidak berpendidikan tidak cerdas,hal ini di buktikan dengan banyaknya orang yang sukses tanpa melalui jenjang pendidikan yang tinggi contoh para pedagang yang sukses.
Berdasarkan fakta tersebut sebaiknya tes kecerdasan juga di berikan kepada orang-orang yang tidak menempuh bangku pendidikan untuk memperoleh informasi yang lebih jauh tentang factor utama yang mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang selain factor pendidikan formal.
Melihat uraian diatas mengenai intelegensi analitis, kreatif dan praktis yang mempunyai perhatian yang berbeda selama ini dalam wilayah pendidikan. Sehingga tidak dapat merubah cepat keberhasilan pembelajaran suatu sekolah khususnya dan umumnya bangsa dan Negara, maka perlu ada perubahan sistem pembelajaran sekolah yang dapat menyeimbangkan berbagai macam intelegensi peserta didik yang dimiliki, dengan mengawali pemberian tes.
                 Skema tingkat intelegensi
IQ (Intelligence Quotion)
Klasifikasi
140 – ke atas
130 – 139
120-129
110 – 119
90 – 109
80 – 89
70 -79
50 -69
49 kebawah
Jenius
Sangat cerdas
Cerdas
Di atas normal
Normal
Dibawah normal
Bodoh
Terbelakang (Moron/Debil)
Terbelakang (imbecile/dan idiot)
B.     FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTELEGENS.
1.      Heriditor (pembawaan) ialah segala kesanggupan kita yang telah kita bawa sejak lahir dan tidak sama pada tiap orang.
2.      Kematangan, menyangkut pertumbuhan jiwa dan fisik berkembang telah mencapai puncaknya karena dipengaruhi faktor internal. Dan arus disadari bahwa kematangan berhubungan erat dengan umur.
3.      Pembentukan yaitu perkembangan individu yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
4.      Minat, inilah yang merupakan motor penggerak  dari inteligensi kita. Dalam arti manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi, menggunakan, menyelidik dunia luar. Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadapdunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu.
5.      Kebebasan, berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih masalah sesuai dengan kebutuhanya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamaya menjadi syarat dalam perbuatan intelegensi.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.
C.     Cara Mengukuur Intelegensi Individu
Intelegensi tidak dapat di ukur seperti tinggi badan atau berat badan, karena kecerdasan hanya dapat di ukur secara tidak langsung melalui tindakan cerdas yang di lakukan seseorang dan melalui tes intelegensi secara tertulis. Santrock (2009:152) mengemukakan bahwa tes kecerdasan yang dapat di lakukan dalam bentuk tertulis adalah tes culture-fair.
Tes culture-fair yaitu tes yang menghindari tes budaya, tes tersebut telah di kembangkan dalam dua jenis yang bebas bias budaya. Yang pertama mencakup pertanyaan yang di kenal orang-orang dari semua latar belakang sosial ekonomi dan etnis. Misalnya pertanyaan untuk orang-orang yang memiliki pendidikan yang tinggi akan berbeda dengan orang yang belum berpendidikan tinggi.
1.      Tes intelegensi individual
Tes 1905 scale, dinamakan tes 1905 karena tes ini ditemukan pada tahun 1905 oleh Alfred Binet. Tes ini terdiri dari 30 pertanyaan, yang berkisar dari kemampuan untuk telinga seseorang sampai kemampuan untuk menggambarkan rancangan dari ingatan dan mendefinisikan konsep-konsep abstrak.
Tes Binet mengembangkan konsep Usia mental, tingkat perkembangan mental seseorang bila dibandingkan dengan orang lain. Pada tahun 1912 William Stern menciptakan konsep intelligence question (IQ), yang merujuk pada usia mental seseorang dibagi usia kronologis, dikali 100 yaitu IQ = MA/CA x 100.
Apabila usia mental sama dengan usia kronologis, maka IQ nya adalah 100. Apabila usia mental di atas usia kronologis, IQ nya lebih dari 100. Tes Stanford-Binet saat ini dilakukan secara individual untuk orang yang berusia 2 tahun sampai dewasa. Tes ini mencakup berbagai soal, beberapa soal membutuhkan respon verbal, soal yang lainnya membutuhkan respon non verbal.
Tes skala Wechsler, yang dikembangkan oleh david Wechsler. Tes tersebut mencakup Wechsler Presscool dan Primary scale of intelegence III (WPPSI III) untuk mengetes anak-anak berusia 4-6,5 tahun, Wechsler Intelegence scale for children – IV Integrated (WISC-IV Integrated) untuk anak-anak dan para remaja berusia 6 s.d 16 tahun, dan Wechsler Adult Intellegence Scale (WAIS III).
Selain IQ secara keseluruhan, skala Wechsler juga menghasilkan IQ verbal dan IQ kinerja (berdasarkan soal-soal yang tidak membutuhkan respons verbal). Soal IQ verbal didasarkan pada 6 subskala verbal, IQ kerja pada lima subskala kinerja. Skala tersebut memungkinkan penguji dapat dengan cepat pola kekuatan dan kelemahan dalam area intelegensi siswa yang berbeda-beda. (Woolger dalam Santrock, 2009:153).
2.      Tes Intelegensi kelompok
Tes intelegensi kelompok mencakup Lorge-Throndike Intellegence test, Khulman Anderson Intellegence tes, dan Otis –Lennon School Mentak Abilities Test. Tes intelegensi kelompok lebih mudah dan lebih ekonomis daripada tes individual, tetapi tes intelegensi kelompok mempunyai kekurangan. Ketika sebuah tes diberikan dalam satu kelompok besar, penguji tidak bisa membangun koneksi, menentukan tingkat kegelisahan siswa, dsb. (Drummond dalam Santrock, 2009:154).
Dalam situasi tes kelompok besar, para siswa bisa jadi tidak memahami perintah atau mungkin terganggu oleh siswa lain. Oleh karena keterbatasan tersebut, saat membuat keputusan penting mengenai siswa, tes intelegensi kelompok perlu dilengkapai dengan informasi kemampuan siswa tersebut.
Untuk hal itu, strategi yang sama berlaku untuk tes intelegensi individual, meskipun biasanya bersikap bijaksana untuk tidak mempercayai begitu saja akurasi skor inteligensi nilai kelompok. Banyak siswa mengerjakan tes dalam kelompok-kelompok besar di sekolah, tetapi keputusan untuk menempatkan seorang siswa dlam satu kelas bagi siswa-siswa yang mempunyai keterbelakangan mental, kelas pendidikan khusus , atau kelas untuk sisiwa-siswa yang berbakat seharusnya tidak hanya didasarkan pada tes kelompok.
Dengan memahami intelegensi ini , maka tentunya kita dapat menerapkan Intelegensi dalam memahami diri kita sendiri , lingkungan kita , dan memahami orang lain. Pentingnya memahami Intelegensi ini pun akan di Implementasikan dalam Dunia Pendidikan , dimana Intelegensi seseorang akan mempengaruhi pola pikir dan cara pandang seseorang dalam menentukan tindakan
D.    Implementasi Perkembangan Intelegensi Dalam Dunia Pendidikan
Multiplle Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah. (Kompas dalam jurnal pendidikan Penabur 2005).
Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemmapuan logika (matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikn bekerjasama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada peserta didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan?
Teori multiplle Intellegences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik.
Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh (Gardner dalam Santrock, 2009:156), (Woolfolk, 2007:113), (Slavin, 2006:165), (Stefanakis dalam Sujiono, 2009: 184), yaitu :
a.      Intelegensi keterampilan verbal: kemampuan untuk berpikir dengan kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengungkapkan makna. Contohnya: seorang anak harus berpikir secara logis dan abstrak untuk menjawab sejumlah pertanyaan tentang bagaimana beberapa hal bisa menjadi mirip. Contoh pertanyaannya “Apa persamaan Singan dan Harimau”?. Cenderung arah profesinya menjadi: (penulis, jurnalis, pembicara).
b.      Intelegensi keterampilan matematis: kemampuan untuk menjalankan operasi matematis. Peserta didik dengan kecerdasan logical mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Cenderung profesinya menjadi: (ilmuwan, insinyur, akuntan)
c.       Intelegensi kemampuan ruang: kemampuan untuk berpikir secara tiga dimensi. Cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (Internal imagery) sehingga cenderung imaginaif dan kreatif. Contohnya seorang anak harus menyusun serangkaian balok warna/i agar sama dengan rancangan yang ditunjukan penguji. Koordinasi visual-motorik, organisasi persepsi, dan kemampuan untuk memvisualisasi dinilai secara terpisah.Contoh:“gunakanlah balok-balok tersebut menjadi tersusun rapi seperti contoh gambar di sebelah kiri”Cenderung menjadi profesi : (arsitek, seniman, pelaut)
d.      Inteligensi kemampuan musical: kepekaan terhadap pola tangga nada, lagu, ritme, dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentransformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan music. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi music. Misalnya dalam pelajaran kerajinan tangan dan kesenian (kertakes), seorang individu akan cepat memahami pelajaran dan berani menyanyikan/memainkan peralatan musik. Cenderung berprofesi menjadi: (composer, musisi, dan ahli terapi musik).
e.       Inteligensi Keterampilan kinestetik tubuh: kemampuan untuk memanipulasi objek dan mahir sebagai tenaga fisik. Senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki control pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Cenderung berprofesi menjadi: (ahli bedah, seniman yang ahli, penari, atlet)
f.       Inteligensi Keterampilan intrapersonal: kemampuan untuk memahami diri sendiri dengan efektif mengarahkan hidup seseorang. Memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan social. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Cenderung berprofesi menjadi : (teolog, psikolog).
g.      Inteligensi keterampilan interpersonal: kemampuan untuk memahami dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain. Pintar menjalin hubungan social, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Cenderung berprofesi menjadi : (guru yang berhasil, ahli kesehatan mental).
h.      Inteligensi keterampilan naturalis: kemampuan untuk mengamati pola di alam serta memahami system buatan manusia dan alam. Menonjol ketertarikan yang sangat besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, diusia yang sangta dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan, dan hujan, asal-usul binatang, peumbuhan tanaman, dan tata surya. Cenderung berprofesi menjadi: (petani, ahli botani, ahli ekologi, ahli bentang darat).
i.        Inteligensi emosional :kemampuan untuk merasakan dan mengungkapkan emosi secara akurat dan adaftif (seperti memahami persfektif orang lain).


[1] Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2005, Hal.27
[2] Muzdalifah M Rahman, Psikologi, STAIN, Kudus, hal 152
[3] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000, hal 113

Comments

Popular Posts