PELAKSANAAN PENDIDIKAN DALAM KONTEKS MASAIL FIQHIYAH ( ZAKAT PIUTANG )
Zakat menurut
bahasa searti dengan istilah “nama” (kesuburan, tambah besar), “thaharah”
(kesucian), “barakah” (keberkahan), dan “tazkiyah” (penyucian). Sedangkan zakat
menurut istilah syara’ ialah pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari
sejumlah harta tertentu menurut sifat dan ukuran tertentu kepada golongan
tertentu yang berhak menerimanya.
Zakat merupakan
ajaran pokok dalam Islam, yaitu salah satu rukun Islam yang ketiga setelah
syahadat dan shalat. Karenanya zakat memiliki kedudukan yang penting dalam
Islam, baik dilihat dari sudut pandang ubudiyah (hablum-minallah) maupun
sudut pandang sosian (hablum-minan-nas). Allah berfirman:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur no4qx.¨9$#
(#qãèx.ö$#ur
yìtB tûüÏèÏ.º§9$#
ÇÍÌÈ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43)
Salah satu
syarat wajib zakat adalah adanya “milk tam”. Permasalahannya adalah
apakah milik yang dihutang oleh orang atau barang yang ada pada seseorang
(sebagai barang pinjaman) itu termasuk pengertian “milk tam”, dan wajib
dikenai zakat? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Piutang yang
berada dalam tanggungan orang apakah itu berbentuk harga sebuah barang, upah
sewa, pinjaman, nilai sebuah barang yang rusak, denda jinayah (perbuatan
kriminal), atau selainnya terbagi dua bagian.
Yang pertama merupakan
barang yang jenisnya memang tidak wajib dizakati. Misalkan seseorang memiliki piutang seratus sha gandum lebih,
maka piutang ini tidak ada zakatnya. Sebab hasil tanaman atau gandum itu
jenisnya tidak wajib dizakati kecuali bagi yang menanamnya.
Yang kedua piutang-piutang
yang jenisnya wajib dizakati seperti emas dan perak. Dalam hal ini pemberi pinjaman
mengeluarkan zakatnya sebab ia pemiliknya. Ia memiliki wewenang mengambilnya atau
membebaskannya. Karena itu jika ia mau mengakhirkannya dan mengeluarkan zakatnya ketika barang berada di tangannya.
Jika seseorang
memiliki piutang dan jika peminjam itu orang berada (kaya). Menurut Imam
syafi’i, harta itu dikeluarkan setiap tahun karena harta tersebut disamakan
dengan barang titipan dan dianggap sebagai milk tam. Sedangkan menurut
Imam Malik harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya pada saat dikembalikan dan
cukup hanya untuk satu tahun saja, yaitu tahun saat dikembalikannya.
Namun jika
peminjam orang yang susah, Qatadah, Abu Tsur dan Ishaq berpendapat piutang tadi tidak harus dizakati. Allah SWT berfirman,
bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès?
ÇËÑÉÈ
Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah:
280)
Namun Imam Malik berpendapat piutang tersebut
harus dizakati pada saat dikembalikan saja.
Tetapi apabila
barang kembali ditangannya, maka ia menzakatinya satu tahun saja meskipun barang tadi berada dalam tanggungan
si peminjam selama sepuluh tahun. Ibaratnya ia memilkinya kembali seperti
mendapatkan barang temuan (rikaz) yang dizakati pada saat mendapatkannya.
Sebagian ulama
berkata, tahun-tahun yang telah lewat tidak perlu dizakati, tetapi ia memulai dengan haul baru. Apa yang telah disebutkan
agar menzakatinya satu tahun yang telah lalu kemudian melanjutkan haulnya, itu
lebih memberikan kehati-hatian dan lebih memberi ketenangan. Apalagi hal ini
tidaklah sulit. Bukanlah satu perkara yang memberatkan kalau seseorang
menunaikan 2,5% dari piutangnya yang kembali lagi ketangannya setelah ia sempat
berputus asa dengannya. Ini merupakan bentuk mensyukuri nikmat Allah yang telah
dianugerahkan kepadanya.
Contoh
permasalahan yang lain, ada orang yang mempunyai kerabat yang fakir serta
sangat membutuhkan, dan kami memberikan kepadanya dari zakat harta kami setiap
tahun. Beberapa waktu yang lalu saya telah memberikan kepadanya sejumlah uang
diluar waktu zakat (sebagai pinjaman), tetapi sampai sekarang ia tidak mampu
mengembalikannya kepada kami kendatipun telah berlangsung sekian tahun lamanya.
Yang dipermasalahkan “apakah boleh orang tersebut membebaskan utangnya
tersebut, dengan menganggapnya sebagai zakat yang akan kami berikan tahun ini
.”
Bila demikian
maka tidak boleh membebaskan hutang yang menjadi tanggungan si peminjam, ketika
merasa putus asa terhadapnya atau keterlambatannya, disertai dengan niat bahwa
penghapusan tersebut sebagai zakat. Karena zakat adalah harta yang dibayarkan
kepada kaum fakir karena kefakirannya dan kebutuhan mereka. Tetapi jika dia
diberi zakat lalu ia mengembalikannya kepada orang yang berhak, untuk melunasi
tanggungannya, maka itu boleh jika
disitu tidak ada kesengajaan atau pemihakan (nepotisme).
Pertama
yaitu piutang yang tidak wajib dizakati, apabila piutang tersebut
berupa harta yang jenisnya memang tidak wajib dizakati. Misalkan seseorang memiliki piutang beberapa sha’ gandum atau
beberapa kilogram gula atau teh atau semacamnya. Maka jenis ini tidak harus dizakati meskipun mencapai nishab. Sebab hasil tanaman atau gandum itu
jenisnya tidak wajib dizakati kecuali bagi yang menanamnya.
Kedua
yaitu piutang yang wajib dizakati, jenisnya seperti emas dan perak. Namun peminjamnya orang yang
susah. Maka ini tidak perlu dizakati kecuali jika barang tadi kembali ke tangannya. Ia cukup menzakati satu tahun yang telah lalu kemudian melanjutkan haulnya. Ada juga
yang berpendapat, ia cukup melanjutkan haul baru.
Ketiga
yaitu piutang yang dizakati setiap tahunnya dan termasuk piutang yang jenisnya wajib dizakati dengan catatan peminjamnya orang yang berada. Maka jenis ini dizakati setiap tahunnya. Namun jika mau, pemberi pinjaman bisa
mengeluarkan zakatnya bersama hartanya atau mengakhirkannya hingga mendapatkan
barangnya kembali dari si peminjam.
Terlepas dari
perbedaan pendapat diatas, hal ini dapat didiskusikan lebih lanjut, sehingga
akan mendapat pemahaman yang lebih jelas dan dapat diambil rumusan yang lebih
maslahat bagi masyarakat sesuai dengan kondisi yang ada.
Comments
Post a Comment