MACAM-MACAM LAFADZ - USHUL FIQH
I.
PENDAHULUAN
Macam-macam lafal dalam ushul fiqh
terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah dalalah yang jelas dan
tingkatan-tingkatannya. Yang kedua adalah dalil yang tidak jelas dalalahnya.
Dalalah yang jelas dari nash ialah makna
yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar.
Sedangkan nash yang tidak jelas dalalahnya yaitu nash yang bentuknya itu
sendiri tidak bisa menunjukkan arti yang dimaksud dari dalil tersebut.
Untuk lebih jelasnya akan di paparkan
dalam makalah ini.
II.
PEMBAHASAN
Macam-macam
Lafal ada dua :
A. Lafal
yang dalalahnya jelas dan tingkatan-tingkatannya, meliputi :
a. Azh-Zhahir
Azh-Zhahir adalah nash yang dapat
menunjukkan makna yang di maksud dengan bentuk nash itu sendiri tanpa
memperhatikan pemahaman dari faktor luar.[1]
Ketika yang di maksud itu sudah dapat di
fahami dari sebuah kalimat, dan tidak perlu membutuhkan penjelasan dari faktor
lain, maka kalimat tersebut di anggap jelas.
Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat
275 :
و احل الله البيع و حرم الربوا...
“Dan Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…”
Hukum yang jelas itu wajib di amalkan
menurut sesuatu yang sudah tampak jelas, selama tidak ada dalil yang
menghendaki mengamalkan selain hukum yang tampak jelas.
b. An-Nash
An-Nash adalah nash yang di bentuknya
itu sendiri telah dapat menunjukkan kepada makna yang di maksud oleh asal
redaksi katanya dan bisa menerima takwil.[2]
Ketika terdapat maksud yang segera dapat
di pahami dari lafal dan untuk memahaminya tidak perlu faktor lain, maka lafal
itu di anggap sebagai nash atas makna tersebut.
Firman Allah SWT :
و احل الله البيع و حرم الربوا...
“Dan Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba-“
Maka sudah jelas sekali bahwa ayat
tersebut meniadakan persamaan antara jual beli dan riba.
Hukum an-Nash itu adalah hukum zhahir,
jadi wajib mengamalkan makna yang dinash oleh hukum zhahir itu.
c. Al-Mufassar
Al-Mufassar adalah lafal yang
petunjuknya jelas untuk makna yang di maksud dari rangkaian lafal tersebut
serta masih mungkin di mansukh.[3]
Atau dapat juga di artikan nash itu sendiri sudah bisa menunjukkan arti yang
sangat rinci.[4]
Firman Allah SWT :
فا جلدو هم ثما
نين جلدة
“Maka deralah mereka itu
delapan puluh kali dera.”
Dimana bilangan tertentu itu tidak
mengandung bilangan yang lebih ataupun kurang.
Hukum mufassar wajib di amalkan sebagai
mana penjelasannya, yang mana penjelasannya tidak mengandung kemungkinan di
palingkan dari makna sesungguhnya.
d. Al-Muhakkam
Al-Muhakkam adalah sesuatu yang
menunjukkan kepada artinya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian
dengan sendirinya secara jelas dan sama sekali tidak mengandung takwil.[5]
Dalam artian, ia tidak membutuhkan arti lain yang mana bukan arti yang
sebenarnya. Karena hukum yang di ambil itu pada umumnya bersifat kaidah-kaidah
agama dan tidak dapat menerima penggantian. Seperti sabda Rasulullah SAW :
الجها د ما ض الي
يوم القيامة
“Jihad
itu berlangsung sampai hari kiamat.”
Hukum al-Muhakkam itu secara pasti wajib
diamalkan dan tidak bisa dipalingkan dari pengertian formalnya dan tidak pula
dapat dihapus.
B. Dalil
yang tidak jelas dalalahnya, meliputi :
a. Al-Khafi
Al-Khafi adalah lafal yang bisa
menunjukkan kepada artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan artinya
terdapat makna yang samar dan tidak jelas.[6]
Maka untuk menghilangkan kesamaran itu perlu dilakukan pemikiran yang mendalam.
Contohnya adalah seperti pencuri
barang-barang dalam kubur (النباش) dia
adalah orang yang mempunyai kebiasaan mengambil harta yang tidak disenangi,
yakni dari kuburan orang-orang yang sudah meninggal. Seperti mencuri kain kafan
tentunya dengan maksud dan tujuan tertentu.
Yang menjadi masalahnya adalah bahwa
pencuri barang-barang dari kuburan tersebut tidak sewajarnya seperti pencuri
pada umumnya. Yang mana biasanya pencuri mengambil barang-barang berharga yang
disimpan di tempat penyimpanan. Dan bagaimanakah hukum yang pantas bagi seorang
pengambil barang-barang dalam kuburan tersebut? Apakah sama juga dihukum di
potong tangannya seperti pencuri pada umumnya?
Ada dua pendapat yang dapat memecahkan
masalah tersebut. Pertama pendapat dari Imam Syafi’I dan Imam Abu Yusuf yang
telah menetapkan bahwa dia dihukumi pencuri, maka harus dipotong tangannya.
Kedua, pendapat dari Imam Hanafiyah yang menetapkan bahwa dia bukan pencuri,
maka dia harus dihukum ta’zir supaya dapat member pengajaran kepadanya, dan
juga tidak dipotong tangan.
Namun jika masih ada keraguan dalam
menetapkan hukum, maka jalan tengah untuk menghilangkan kesamaran ini adalah
dengan jalan pembahasan/penelitian seorang mujtahid dan upaya berfikirnya.
b. Al-Musykil
Al-Musykil adalah suatu lafal yang samar
artinya disebabkan oleh lafal itu sendiri.[7]
Kemusykilan muncul dalam nash, dan
terkadang dari lafal musytarak. Lafal yang musytarak menurut bahasa adalah
objek beberapa arti dan bentuknya tidak mempunyai isyarat kepada satu arti
diantara arti-artinya, maka harus ada faktor dari luar untuk menentukannya.
Seperti lafal (القرء) dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah
ayat 228 :
والمطلقا ت يتر
بصن با نفسهن ثلا ثة قروء
“Dan
para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Lafal al-quru merupakan lafal musykil,
yang mana lafal tersebut secara bahasa mempunyai dua makna, yaitu suci dan
haid. Imam syafi’i dan sebagian para mujtahid berpendapat bahwa lafal quru yang
berarti suci. Sedangkan lafal quru menurut ulama Hanafiyah dan sekelompok
mujtahidin lain mempunyai arti haid.
Jalan untuk menghilangkan kesulitan
al-musykil adalah dengan melakukan ijtihad.
c. Al-Mujmal
Al-Mujmal
adalah lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang
terkumpul di dalamnya.[8]
Lafal yang tidak dapat menunjukkan
terhadap maksudnya melalui sighatnya, tidak ada tekstual dan kontekstual yang
menjelaskannya atau lafal itu tidak dapat di jelaskan oleh lafal itu sendiri
dan tidak mungkin di ketahui maksudnya kecuali kalau ada penjelasan dari
syara’.
Seperti lafal shalat dalam firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah ayat 43 :
و اقيمو
الصلوة...
“Dan
laksanakanlah shalat…”
Karena ayat di atas belum mendapat
penjelasan dari syara’, maka ayat diatas dijelaskan melalui hadis Nabi, baik
dengan perbuatan maupun perkataan yang menjelaskan secara detail, mulai dari
rukun, syarat dan caranya.
Rasulullah SAW bersabda :
صلوا كما رايتمو
ني اصلي (رواه البخارى)
“Shalatlah
seperti kamu lihat aku melakukan shalat.”
d. Al-Mutasyabih
Al-Mutasyabih secara bahasa adalah lafal
yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Sedangkan
secara istilah adalah lafal yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat
digunakan untun mencapai artinya.[9]
Contohnya seperti potongan-potongan
huruf pada permulaan sebagian surah al-Qur’an, seperti Alif Lam Mim, Qaf, Shad,
Ha’, Mim dan ayat-ayat yang berupa zhahirnya, yakni ayat yang mempunyai arti
bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti bahwa Dia mempunyai tangan, mata
dan tempat.
Firman Allah dalam surat al-Fath ayat 10
:
...يد الله فوق ايد يهم...
“Tangan
Allah di atas tangan-tangan mereka.”
Takwilnya adalah kekuasaan Allah berada
di atas kekuasaan siapapun. Ayat ini tidak dapat di pahami hanya secara makna
bahasa saja, yang mana Allah tidak mungkin menyerupai makhluk-Nya.
III.
KESIMPULAN
Macam-macam lafal terbagi menjadi dua. Pertama
adalah lafal yang dalalahnya jelas dan tingkatan-tingkatannya, serta dalil yang
tidak jelas dalalahnya.
Lafal yang dalalahnya jelas dan
tingkatan-tingkatannya ada empat macam, yakni :
a. Azh-Zhahir
b. An-Nash
c. Al-Mufassar
d. Al-Muhakkam
Dalil
yang tidak jelas dalalahnya juga ada empat macam, yakni :
a. Al-Khafi
b. Al-Musykil
c. Al-Mujmal
d. Al-Mutasyabih
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Ø Drs.
Khairul Uman – Drs. H. A. Achyar aminudin. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung : CV
Pustaka Setia.
Ø Drs.
Totok Jumantoro, M.A. – Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus Ilmu Ushul
Fikih. Amzah.
[1] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, 1996, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal.264
[2] Ibid,hal.266
[3] Drs. Khairul Uman – Drs. H. A.
Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, 2001, Bandung : CV Pustaka Setia,
hal.11
[4] Op.cit, hal.271
[5] Ibid, hal.274
[6] Ibid, hal.278
[7] Drs. Totok Jumantoro, M.A. –
Drs. Samsul Munir Arifin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, 2005, Amzah,
hal.237
[8] Ibid, hal.223
[9] Ibid, hal.239
good thnks
ReplyDelete