PELAKSANAAN PENDIDIKAN DALAM KONTEKS MASAIL FIQHIYAH (NAJIS)
SEPUTAR NAJIS
A.
Pengertian Najis
Najasat jama' dari najis yaitu setiap sesuatu yang mengotori tabiat atau
alam yang selamat atau suci dan menjaga darinya (kotoran) dan mencucinya jika
mengenai pakaian, seperti kotoran manusia dan air kencing.[1] Najis
secara bahasa adalah setiap kotoran. Sedangkan secara istilah adalah kotoran
yang menghalangi kesahannya shalat, seperti; darah dan air kencing.[2] Najis
juga bermakna sesuatu yang berubah karena najis, tidak ditempat yang suci.[3] Didalam
kitab asy syarhu al kabir disebutkan bahwa najis adalah sesuatu yang berubah
karena tercampuri najis. Setiap air yang berubah karena tercampuri dengan najis
maka dia adalah najis, berdasarkan ijma' sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Al
Mundir.[4] Najis
adalah bentuk kotoran yang setiap muslim diwajibkan untuk membersihkan diri
darinya atau mencuci bagian yang terkena olehnya.[5]
Firman Allah swt, Qs Al Muddatsir: 4, Al Baqarah: 222. dan sabda Nabi saw,
"Dan bersihkanlah
pakainmu".[6]
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.[7]
الطَهُوْرُ
شَطْرُ الإِيْمَانِ
"Kesucian itu sebagian
dari iman".[8]
Hal-hal yang najis ialah apa saja yang keluar dari dua lubang manusia
berupa tinja, atau urine, air madzi, atau air mani. Begitu juga air kencing dan
kotoran semua hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan. Begitu juga darah,
nanah atau air muntah yang telah berubah. Begitu juga semua bangkai dan organ
tubuhnya kecuali yang disamak. Jika kulitnya disamak maka suci.[9]
Sabda Rasulullah saw, "Kulit apa saja yang telah disamak, maka menjadi
suci."[10]
Tiga tempat yang tidak ada khilaf didalamnya agar dihilangkan darinya
najis adalah badan, pakaian, masjid dan tempat-tempat shalat. Para ulama
sepakat dalam masalah ini, karena ditetapkan berdasarkan kitab dan sunnah.[11]
B.
Hukum Menghilangkan Najis
Menghilangkan najis dari badan, pakaian dan tempat orang yang shalat
adalah wajib, kecuali najis yang dimaafkan karena sulit dihilangkan atau sulit
dihindari. Maka dalam hal ini tidaklah wajib, karena untuk menghindarkan
kesukaran. Mengenai pakaian berdasarkan Firman Allah swt,
"Dan bersihkanlah
pakainmu".[12]
Adapun mengenai badan, maka badan lebih pantas dan lebih berhak
disucikan ketimbang pakaian yang hukum menyucikannya ditegaskan dalam ayat
tersebut. Sedangkan mengenai tempat, maka tujuan utama menghilangkan najis
daripadanya ialah agar keadaan orang yang shalat itu lebih baik, suatu keadaan
dimana ia sedang bermunajat atau berkomunikasi dengan Rabbnya. Maka dalam hal
ini, tempat tak ubahnya dengan pakaian.[13]
Tidak ada perbedaan antara najis yang sedikit maupun banyak, semuanya
sama saja tetap najis. Baik najis itu sedikit didapatkannya atau bahkan tidak
didapatkan dari semua najis, kecuali sesuatu yang dimaafkan tentang sedikitnya
itu, seperti pada pakaian, darah dan lainnya.[14]
C.
Cara Menghilangkan Najis
Cara mensucikan badan, pakaian, lantai dan sebagainya yang terkena najis
cukup dengan menghilangkan najis itu dari tempatnya. Karena didalam syariat
tidak disyaratkan untuk menyucinya berkali-kali, kecuali jika terkena najis
anjing disyaratkan mencucinya sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan
menggunakan tanah.[15]
Syaikh Asy Sa'di menetapkan bahwa bila najis telah hilang, dengan cara
apapun hilangnya baik dengan air maupun yang lainnya, maka benda itu telah
suci. Demikian juga bila kotoran-kotorannya telah menghilang atau berubah wujud
dan berubah sifat dan wujudnya menjadi suci maka benda itu telah dianggap suci.
Berdasarkan pendapat diatas, minyak yang terkena najis bisa disucikan dengan
cara menyulingnya hingga kotoran yang ada didalamnya hilang.[16]
D.
Thaharah Dengan Air Sumur[17]
Hukum air sumur adalah sama dengan hukum air lainnya. Tetapi menurut
ulama hanafi, ia mempunyai hukum-hukum tertentu. Mereka berkata, “apabila ada
najis jatuh kedalam sumur atau di dalamnya
terdapat bangkai binatang jenis berdarah mengalir, maka air sumur itu menjadi
najis. Kemudian jika bangkai tersebut membengkak, robek-robek atau rontok
bulunya, maka semua air sumur itu wajib dikuras kalau memungkinkan. Jika tidak
mungkin menguras seluruhnya, maka wajib dikuras atau dibuang airnya sebanyak
200 timba, dengan timba yang biasa dipakai disumur itu. Pengurasan ini
dilakukan setelah bangkai dibuang lebih dahulu. Apabila bangkai tidak rontok
rambutnya, juga tidak membengkak maka jika bangkai itu besar seperti manusia
dan kambing, semuanya wajib dikuras. Bila kecil, seperti kucing dan ayam, maka
air sumur itu menjadi suci kembali dengan mengurasnya sebanyak 40 timba. Bila
lebih kecil lagi, misalnya tikus dan burung kecil, hendaklah sumur tersebut
dikurangi airnya sebanyak 20 timba. Ketentuan itu tidak berbeda, baik sumurnya
kecil maupun besar.[18]
Menurut jumhur, air sumur yang tercampur dengan sesuatu yang najis,
hukumnya seperti halnya air yang ada najisnya. Jadi hukumnya najis. Akan tetapi
dari kalangan hanafiyah berbeda dalam masalah ini, mereka membedakan antara air
sumur dengan air yang biasa ditinjau dalam sebagian kondisi atau keberadaan air
itu.
Pendapat madzhab malikiyah, "jika terdapat bangkai binatang yang
najis dalam sumur, kemudian air itu berubah, maka wajib untuk menghilangkannya.
Jika tidak berubah warna disunnahkan untuk menghilangkan najis itu sesuai
dengan kadar najis dan air yang ada dalam sumur itu.
Adapun dari kalangan syafiiyah dan hanafiyah mereka berpendapat, "Mereka
tak membedakan antara air yang tenang dan yang mengalir antara air sumur dan
air biasa baik itu sedikit maupun banyak, adapun yang selain dua qullah (sangat
sedikit), maka air tersebut najis, walaupun airnya tak berubah. Jika air itu
banyak yaitu lebih dua qullah bahkan banyak, maka air itu suci dan tidak najis
dengan adanya najis yang jamid (beku) atau berupa cairan yang tidak berubah
warna. Jika air itu berubah, maka najis.
Pendapat madzhab hanabilah, "kolam yang kandungan airnya sangat
banyak, tidak akan najis dengan sesuatu dari najis selama air itu tidak berubah
warna, rasa dan baunya.
Jika ada bangkai anjing, babi, unta, sapi, domba bahkan ayam dalam
sumur, selama air itu tidak berupah warna, maka air itu suci. Jika air itu
berubah maka najis.[19]
Pada dasarnya air itu ada dua macam; suci dan najis. Jika air itu
tercampuri dengan najis maka menjadi najis. Jika tidak berubah dengan najis
maka suci.[20]
Berdasarkan kaidah bahwasannya, "asal thaharah itu tidak dinukil
darinya melainkan dengan cara yang shahih, tidak bertentangan dengannya, tidak
pula menyamainya atau bahkan mendahului atasnya.[21]
Jika terdapat najis pada air kemudian air itu berubah, maka air itu
najis, tanpa adanya khilaf. Karena perubahannya itu termasuk bagian dari najis.
Jika belum berubah, dalam masalah ini ada dua kemungkinan: pertama; jika air
itu lebih dari dua qullah maka suci. Kedua; jika air itu tidak ada dua qullah,
maka ada dua riwayat, bahsannya ia najis, berdasarkan sabda nabi saw,
"jika air itu sampai dua qullah maka barang itu tidak najis. Yang kedua
air itu tetap suci berdasarkan sabda nabi saw, " air yang suci tidak
najis. Dan sabdanya juga, "air yang suci tidak najis kecuali berubah
warna, rasa dan baunya. Hr Ibnu Majah Dari Abu Umamah.[22]
[1] Ta'liqat Ar
Radhiyah Ala Raudhtun Nadiyah, Lilalamah Shiddiq Hasan Khan Biqalam Syaikh
Nashirudin Albani, jilid I/103
[2] Dr. Musthafa Al Khin
,Dr. Musthafa Al Bugha Dan Aly As Syaryahi, Al Fiqhul Manhaji Al Madzhabil
Imam As Syafii, jilid I/38
[3] Muntaha Al Iradat Fi
Jam'il Ma'na' Ma'a At Tanqih Wa Zayadat, Taqiyuddin Muhammad Bin Ahmad Al
Fatuhy Al Hanbali, hal: 6
[4] Asy Syarhu Al
Kabir Liibni Qudamah Al Maqdisy, Syaikh Al Imam Syamsudin Abi Al Farj
Abdirrahman Bin Abi Umar Bin Ahmad Bin Qudamah Al Maqdisy, jilid: I/11
[5] Al Jami' Fil Fikhi An
Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia, "Fikih
Wanita", hal: 15.
[9] Minhajul Muslim,
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Edisi Indonesia Ensiklopedi Muslim, Hal: 271
[11] Bidayah Al Mujtahid Wa
Nihayatu Al Muqtashid, Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rusd
Al Qurthuby, jilid I/123-124
[13] Ays Shalatu 'Ala Al
Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat
Madzhab, hal: 38-39
[14] Ibnu Qudamah, Al
Mughni, Jilid I/30
[15] Manhajus Salikin
Wa Taudhihu Al Fikh Fie Addin, Syaikh Al Alamah Abdurrahman Bin Nashir Ash
Sa'di, Edisi Indonesia Pedoman Praktis Fikih Setiap Muslim, hal: 29
[18] Ays Shalatu
'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat
Empat Madzhab, hal: 26
[20] Majmu' Fatawa Wa
Rasail Fadhilah Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, Jamu Wa At
Tartib Fahad Bin Nashir Bin Ibrahim As Sulaiman, jilid 11/85
[21] Ar Raudhatu An
Nadiyah Syarhu Ad Duraru Al Bahiyah, hal: 19
[22] Al Kafi Fi Fikhi
Al Imam Al Mubajjalahmad Bin Hanbal, Syaikh Al Islam Abi Muhammad Muwaffiq
Addin Abdullah Bin Qudamah Al Maqdisy, Jilid I/7-8
Comments
Post a Comment