PENGERTIAN ISTISHAB, 'URF, SYAR'U MAN QOBLANA DAN SAL AL-ZAHRI'AH



Istishab
Istishab menurut bahasa berasal dari kata subhah yang berarti menemani atau menyertai (tidak berpisah). Menurut istilah, istihsab adalah hokum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan itu.
Macam-macam istishab :
1.      Istishab Bara’ah Asliah, yaitu terlepas dari tanggung jawab (terlepas dari suatu hokum) sehingga ada dalil yang menunjukknya salah.
Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseoang.
2.      Istishab Atsar, yaitu yang sudah ditunjuk oleh akal dan syara’, sehingga ada dalil yang menentangnya.
Misalnya, hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi kepemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain.
3.      Istishab Dalil, yaitu ada kemungkinan sesuatu yang menentangnya.
Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 267, diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam.
4.      Istishab Hukum, yaitu hokum yang ada yang telah diijma’I lalu terjadi perselisihan.
Misalnya, para ulama fiqh menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan sholat.
Kehujjahan istihsab
Kehujjahan istishab ada tiga pendapat dikalangan ulama ushul fiqh sebagai berikut :
1.      Mayoritas dari pengikut Malik, Syafi’I, Ahmad dan sebagian ulama Hanafi, berpendapat bahwa istihsab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hokum syara’, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara zhanni (relatif), maupun qath’I (pasti), maka hokum yang telah ditetapkan it uterus berlaku karena adanya dugaan keras belum ada perubahan.
2.      Sebagian besar dari ulama mutakhirin, Hanafi berpendapat bahwa istihsab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hokum syara’.
Alasannya, istihsab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hokum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hokum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.
3.      Segolongan dari ulama mutakallimin seperti, Hasan al-Basri dan sependapat dengannya, berpendapat bahwa istihsab secara mutlak tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
Alasannya, hokum tanpa dalil sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, tetapi untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. Istihsab menurut mereka bukan dalil.
Urf (Adat)
‘Urf (adat) menurut bahasa adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkataan, perbuatan, atau meninggalkan karena telah menjadi kebiasaan umum.
Menurut istilah, ‘urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan syara’.
Macam-macam ‘urf :
1.      ‘Urf Shahih, yaitu apa yang diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari’at, tidak membatalkan yang wajib, dan tidak menghalalkan yang haram.
2.      ‘Urf Fasid, yaitu apa yang diketahui orang, tetapi berlainan dari syari’at, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib.
Kehujjahan ‘Urf :
1.      Golongan Hanafiyah dan Malikiyah, berpendapat bahwa Urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum selagi tidak bertentangan dengan syara’.
2.      Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, berpendapat bahwa urf tidak hujjah untuk menetapkan hukum karena bertentangan dengan syara’ (urf fasid).
Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qoblana berasal dari kata syara’a, yang artinya  syari’at Islam, sedangkan qablana berarti sebelum Islam. Jadi, syar’u man qoblana adalah syari’at yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi yang diutus sebelum nabi Muhammad SAW.
Macam-macam Syar’u Man Qoblana :
1.      Setiap hukum syari’at dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama sepakat kalau ini tidak termasuk syari’at kita.
2.      Setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kehujjahan syar’u man qoblana :
Ø  Dalam masalah adalah, syariat Islam para ulama tidak membatalkannya. Kepercayaan dan keyakinan kepada Allah sejak zaman nabi Adam berlaku sampai sekarang , juga dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan, pembunuhan dan kekafiran. Hukum-hukum syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syariat bagi Rasulullah dan umatnya.
Ø  Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan imam Ahmad Bin Hnbal mengatakan bahwa apabila hukum-hukum syariat Islam sebelum Islam itu disampaikan kepada Rasulullah melalui wahyu al-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dan tidak ada nash yang menolak hukum itu, maka umat Islam terikat dengan hukum-hukum itu.
Sad al-zahri’ah
Menurut bahasa, sad al-zari’ah terdiri dari dua kata,sad yang artinya penghalang atau sumbat, dan zari’ah yang artinya jalan. Menurut istilah, sad al-zari’ah adalah upaya menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju pada kerusakan atau maksiat.
Macam-macam sad al-zari’ah :
1.      Dzari’ah yang mengarah pada mafsadah, seperti minum arak menyebabkan mabuk. Dzari’ah ini dilarang, atau haram.
2.      Dzari’ah yang menyebabkan kepada sesuatu yang mubah, dan tidak bermaksud sampai haram, tetapi biasanya membawa pada yang haram, seperti wanita yang suaminya meninggal, lalu berdandan sedang dia dalam keadaan iddah.
3.      Dzari’ah yang mubah, tetapi suatu ketika terkadang akan menyebabkan mafsadah, seperti, meminang wanita.
4.      Dzari’ah yang dibuat pada sesuatu yang mubah, tetapi dimaksudkan supaya sampai kepada mafsadah, seperti nikah,tahlil.

Comments

Popular Posts